Senin, 19 Juli 2021

Penggunaan Micro:bit dalam Menjalankan Peran Baru Seorang Guru di Masa Pandemi

Cindy Paskalina
Writer
Bagikan
Penggunaan Micro:bit dalam Menjalankan Peran Baru Seorang Guru di Masa Pandemi

Sektor edukasi mendapatkan pukulan keras akibat datangnya pandemi COVID-19. Anak- anak yang masih berada dalam tahap ideal penyerapan ilmu, terpaksa dirumahkan dan duduk belajar di depan layar. Setelah lebih dari satu tahun mengajar online, Bu Aliyah –guru Bahasa Indonesia di SMPN 115 Jakarta– menceritakan kendala-kendala yang Ia dan rekannya alami sampai saat ini.

Sebenarnya, tidak ada banyak perubahan dalam jadwal mengajar Bu Aliyah. Ia tetap bertemu dengan murid-muridnya dua kali empat puluh menit di setiap kelas dalam seminggu. Meskipun demikian, menurutnya metode pengajaran ini telah membatasi kualitas pengajaran yang ia berikan. Proses pengumpulan anak-anak ke dalam ruangan Zoom berakibat pada pemotongan waktu belajar di kelas. Ketika terdapat gangguan jaringan, beberapa murid terpaksa untuk tidak mengikuti kelasnya sama sekali.

Jika dibandingkan dengan suasana pengajaran offline yang kaya akan interaksi guru dan murid, metode ini juga tampaknya mendorong sikap pasif partisipasi murid di kelas. Walaupun komunikasi terus berjalan dalam grup, beberapa anak didapati tidak menyelesaikan tugas karena kurangnya pemahaman instruksi tugas. Terlebih lagi, Bu Aliyah tidak pernah bisa sepenuhnya yakin jika materinya telah tersampaikan dengan jelas tanpa terpotong oleh jalur koneksi. Jika ia mengajar di depan kelas, pengalaman mengajar 22 tahunnya tentu dapat membantu menemukan murid yang membutuhkan bantuan dalam pengerjaan tugas maupun pemahaman materi.

Guru bukanlah satu-satunya pihak yang mengalami kesulitan. Bu Aliyah pernah beberapa kali kedatangan murid yang merasa dirugikan dari sistem pengajaran offline. Kendala beragam dari hasil nilai yang tidak sesuai dengan ekspektasi sampai ketidakhadiran teman-temannya dalam mengerjakan tugas kelompok dari rumah masing-masing. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Riset dan Teknologi Nadiem Makarim telah menyampaikan keinginannya untuk memulai pengajaran tatap muka terbatas dari penghujung bulan maret lalu. Saat ditanya mengenai respon awal Bu Aliyah mengenai kabar ini, Ia hanya bisa menjawab “Alhamdulilah”. Ia kemudian menceritakan bahwa setiap rekan guru diwajibkan berkumpul di sekolah untuk rapat, keluhan yang serta harapan senada untuk belajar offline selalu mereka ucapkan.

Namun, peningkatan kasus COVID-19 setelah masa libur lebaran menimbulkan perlawanan di berbagai khalayak masyarakat. Khususnya di Jakarta, angka pertambahan mencapai lebih dari lima ribu kasus per tanggal 20 Juni 2021. Sekolah SMPN 115 Jakarta sudah menyebarkan angket untuk mengumpulkan pendapat dari pihak orang tua dan murid sekolahnya. 75% murid menginginkan kembalinya pembelajaran tatap muka, sedangkan hanya 25% orang tua murid yang menginginkan demikian. Walaupun dirinya lebih memilih untuk mengajar offline, Bu Aliyah dan sekolah berkomitmen untuk terus mengikuti arahan dari Dinas Pendidikan Daerah. Tentunya jika kondisinya sudah aman untuk melanjutkan rencana tatap muka, Bu Aliyah percaya bahwa SMPN 115 Jakarta sudah sangat siap untuk kembali ke New Normal, karena kesehatan siswa dan guru adalah hal yang menjadi prioritas di masa sekarang.

Sekolah sudah memasangkan sejumlah wastafel baru di berbagai titik sekolah dan menyusun meja yang dilengkapi kaca pembatas. Guru-guru kemudian tidak bisa hanya sibuk mengurusi soal ujian atau menyusun raport murid-muridnya saja tetapi juga bertanggung jawab untuk menjamin lingkungan belajar aman bagi murid-muridnya nanti. Gagasan inilah yang menjadi dasar pembuatan proyek Auto Hand Sanitizer oleh tim Bu Aliyah dalam program pelatihan Digital Readiness Academy (DRA): the Micro:bit Challenge yang merupakan program kerjasama Skilvul dengan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, British Council, dan HSBC yang bertujuan untuk memberdayakan guru dan siswa dengan literasi digital, literasi keuangan, dan keterampilan non teknis untuk perencanaan masa depan yang berfokus pada teknologi.

Pada Awalnya, ia mengaku sangat bingung ketika mendapatkan tawaran pelatihan tersebut, “Saya sampai browsing “Apa itu pengkodingan?” Saya benar-benar tidak paham materinya,” jelas Bu Aliyah saat wawancara via zoom beberapa pekan lalu. Jika dibandingkan dengan tampak luarnya yang mengintimidasi, Bu Aliyah mulai menyadari bahwa coding menggunakkan Micro:bit adalah hal menyenangkan karena bisa mempelajari instruksi komputer agar program dapat menjalankan perintah sesuai dengan yang kita inginkan. Ia justru merasa ketidak familiarannya menjadi sumber semangat untuk menguasai ilmu baru ini.

Dalam Demo Day sebagai acara puncak pelatihan guru DRA, tim Bu Aliyah menjelaskan bagaimana cara kerja projek yang mereka ajukan. Dispenser akan menggunakkan sensor inframerah untuk mendetektsi ada tidaknya objek, kemudian valve akan dipasang sebagai aktuatornya. Ketika tangan melewati sensor, maka dispenser yang berisikan 350 ml hand sanitizer akan mengeluarkan cairan sebanyak 3 ml. Jika isi dispenser nya habis, maka lampu dalam bentuk “X” dan “O” akan berkedip bergantian.

SMPN 115 Jakarta adalah salah satu dari sepuluh Sekolah Menengah Pertama di Jakarta yang membentuk program ekstrakurikuler Code Club di bawah pengawasan Skilvul dan British Council. Selama mengikuti lima minggu pelatihan bersama Skilvul, Bu Aliyah menyadari bahwa belajar coding bukan hanya sebatas mengolah kode, melainkan menyelesaikan masalah yang ada di sekitar kita juga. Sebagai guru koordinator program di sekolahnya, ia berharap bahwa pengenalan terhadap* coding* dan Micro:bit dapat membantu murid-muridnya untuk menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif dalam penyelesaian masalah mereka di masa depan.

Bagikan

Temukan Topik Menarik Lainnya dari Skilvul

Jadilah Inspirasi dan BerikanDampak Positif Bersama Skilvul!