Micro:bit Hackaton 2021: Menginspirasi Talenta Digital Muda Indonesia
Cindy Paskalina
Writer
Skilvul bekerja sama dengan British Council, HSBC, dan the Microbit Foundation mengadakan rangkaian acara Digital Readiness Academy (DRA): The Micro:bit Challenge untuk meningkatkan literasi digital dan soft skill Abad-21 anak-anak muda di Indonesia. Sebanyak sepuluh ekstrakurikuler Code Club telah dibentuk dan bersaing dalam Micro:bit Challenge Hackaton 2021 dalam tema Good Health and Well Being, and Climate Action. Tim Skilvul bertemu melalui telekonferensi dengan “Make Change Team” dari SMPN 253 Jakarta dan “MugiwaraClub” dari SMPN 244 Jakarta yang berhasil meraih juara di program ini.
Inovasi Dari Pelajar dan Untuk Pelajar
Make Change Team adalah tim antar angkatan yang beranggotakan Hidayatullah Ahmad Dharmawan, Halimah Husna Sitompul, Nurul Adzani, Muh. Yusuf Aldiansyah dan Rabian Mahandi. Walaupun tidak begitu kenal satu sama lain akibat perbedaan kelas dan angkatan, mereka mengaku tidak memiliki banyak masalah dalam membuat ide yang sesuai dengan tema. “Sebetulnya ide kami ada beberapa kak. Contohnya, detektor gempa, detektor pelindung hutan, detektor banjir dan keran melodi,” jelas Halimah. “Namun setelah diskusi via zoom dengan kakak-kakak Skilvul dan pembina kami, akhirnya kami memilih protektor mata.”
Ide ini dinilai paling relevan bagi seluruh anggota yang sering ditegur orang tua ketika menggunakan handphone yang terlalu lama dan terlalu dekat. Selain itu, mereka merasa bahwa produk dari ide ini dapat berguna bagi seluruh pelajar yang kini terpaksa duduk di depan layar komputer tiap harinya.
Dengan nama “Protektor mata”, produk mereka berkembang dengan tiga fitur yang berbeda dan dibingkai dalam sarung burung hantu yang melambangkan penglihatan tajam dan kepekaan cahaya. Pertama, untuk membantu murid berada pada jarak lihat yang aman (60 cm), Micro:bit dilengkapi dengan sensor ultrasonik yang dapat mengidentifikasi jarak kepala dengan layar. Kedua, untuk menjaga tingkat kecerahan layar di bawah standar optimum (70%), Micro:bit dilengkapi dengan sensor cahaya yang akurat. Terakhir, untuk membantu membatasi waktu belajar layar elektronik yang ideal (20 menit), Micro:bit diprogram untuk berbunyi dan menunjukan hitungan mundur 10 detik pada waktu yang disarankan.
Walaupun tidak pernah bertemu secara fisik, Make Change Team tampak memiliki kerja sama dinamis yang terlihat dari kontribusi seimbang oleh masing-masing anggotanya. Beberapa anggota tim fokus merangkai editing video dan prototipe sedangkan yang lainnya sibuk melakukan riset, menyusun teks narasi video dan presentasi. Mereka menghabiskan beberapa malam dalam telekonferensi untuk menyempurnakan penampilan presentasi yang dibatasi oleh durasi 3 menit.
Istilah yang asing tentunya menjadi hambatan bagi mereka saat belajar coding di antara kesibukan di sekolah. Namun, setelah kini selesai berproses, mereka melihat pengalaman satu bulan tersebut dengan senyuman lebar. Tidak hanya mereka menyadari betapa menyenangkannya menulis coding, mereka juga melihat potensi yang mereka miliki melalui coding untuk membantu orang lain. “Aku mau coba-coba membuat beberapa ide proyek yang sudah diajukan saat awal penyeleksian ide kak” jelas Hidayat. “Aku sudah buat codingannya untuk beberapa ide itu, sekarang tinggal bikin prototipenya saja.”
Berkontribusi Pada Pemulihan Kesehatan Indonesia
Renata Hanifah , Adinda Novi Yanti , Reisha Ananda Taneu dari tim MugiwaraClub adalah teman sekelas saat kelas 7. Setelah Hanifah melihat daftar yang lolos ke dalam Codeclub di sekolah mereka, Ia mengajak Reisha dan Adinda untuk membentuk tim dalam lomba Hackathon Micro:bit.
Sama seperti Make Change Team, ide proyek mereka berasal dari keresahan pribadi saat melihat kerumunan orang yang tidak menggunakan masker di swalayan dekat rumah. Kesulitan berkata, Hanifah mengaku bingung dan tidak tahu harus berbuat saat melihat orang-orang yang terang-terangan melanggar protokol kesehatan di masa pandemi.
Micro:bit Warning Watch didesain sebagai gelang penjaga protokol kesehatan dengan dua fungsi berbeda. Gelang yang disambungkan dengan Micro:bit ini dilengkapi dengan sensor jarak Pendeteksi produk Micro:bit yang ada di sekitarnya. Jika jarak berada di bawah 1,5 meter (jarak protokol), maka kedua Micro:bit akan berbunyi dan mengeluarkan tanda X. Selain itu, gelang ini juga dilengkapi dengan fitur pendeteksi arah tangan yang bergerak menuju muka sehingga dapat mengeluarkan bunyi peringatan bagi penggunanya. Fitur ini mereka anggap sangat berguna bagi diri mereka sendiri yang masih sering lupa untuk tidak menyentuh muka di tempat umum.
Karena jarak rumah yang tidak begitu jauh, mereka bertiga dapat bertemu di salah satu rumah anggota untuk membuat prototipe, membuat video dan berlatih presentasi. Meskipun demikian, keuntungan bertemu langsung ternyata tidak berarti proses pengerjaan dapat berjalan dengan lancar. Coding error pada pendeteksian jarak protokol membuat mereka melakukan berbagai tes dan penyesuaian penulisan coding yang tampak tak akan berakhir.
Pengumuman kemenangan mereka dipenuhi dengan ucapan dan telpon masuk dari keluarga dan guru-guru di sekolahnya. “Mbahku sampai nangis katanya,” jelas Hanifah dengan geli. Perasaan bahagia luar biasa menyelimuti tiap-tiap mereka yang tidak menyangka akan membawa pulang kemenangan.
Menanyakan apa rencana masa depan sekelompok anak kelas 8 tampak terlalu berlebihan, tetapi Hani terlihat percaya diri dengan impian dan cita-citanya. “Aku sebenarnya ingin jadi menteri. Menteri keuangan atau menteri Pendidikan”, jelas Hanifah dengan malu malu. “Ini [pelatihan coding] harusnya wajib, sekarang semuanya udah digital sedangkan masih banyak anak-anak SD, SMP dan SMA yang masih gaptek.” Indonesia tentunya akan sangat diuntungkan jika dipimpin oleh anak-anak seperti Hanifah Adinda, dan Reisha yang melek literasi digital dari dini.
Temukan Topik Menarik Lainnya dari Skilvul
